Kamis, 08 November 2012

cerpen : AKU PADAMU


AKU PADAMU
            Dari kejauhan nampak kapal-kapal menuju laut lepas, cahaya di dalamnya menambah anggun malam ini. Aku masih duduk terdiam di hamparan pasir pantai yang tidak jauh dari pusat kota Balikpapan . Udara di sekelilingnya semakin dingin, rintik-rintik hujan membasahi tubuhku. Bergegas aku kembali ke mobil dan mengendarainya perlahan.
Hujan dan angin kencang membuat pemandanganku terhalang .”A….aw….aw !!!’’, teriak seseorang di depan mobilku. Ku buka pintu mobil lalu menghampiri tubuh yang tergeletak di depan mobilku.
‘’Hei….bangun!!! Jangan pura-pura pingsan ‘’, teriakku sambil memandang tubuh yang tergeletak itu. Orang itupun tersadar , lalu beranjak pergi dari hadapanku. Wajahnya tak bisa dikenali karena tertutup jas hujan dan masker di hidung. Bayangannya  pun menghilang dalam gelap.

***
‘’Ningsih kamu jangan terlalu lelah, istirahat saja!’’, Kata Ratih sambil mengusap darah yang keluar dari hidung Ningsih.
Kali ini Ningsih menuruti kata-kata sahabatnya. Hari ini ia sangat lelah membantu para korban kebakaran , seluruh gajinya ia berikan untuk para  korban kebakaran. Selain kerja menjadi tukang koran ia juga membantu Bayu di bengkel.
Wajah Ningsih sangat pucat ia mengeluarkan keringat ,ia melangkah perlahan-lahan melintasi  Zebra cros menuju  kosnya. Matahari siang itu begitu terik membuat penglihatannya begitu kabur . Tubuh mungil itu pun tergeletak , hanya suara klakson mobil yang terdengar. ’’Hai bangun! jangan pura-pura pinsgan demi uangku.’’, kaki itu menendang tubuh itu sambil berteriak . Gadis itu sudah membuatku terlambat menghadiri meeting penting. Jalan raya pun menjadi macet  karena  ulahnya. Mata cantik itu pun terbuka , ia berusaha bangkit . Aku pun memberikan gadis itu 200 lembar uang Rp 50.000.
Gadis itu melempar uang pemberianku  tepat di wajahku. ’’Tidak  semua yang ada di dunia ini  kamu beli dengan uang’’. Sungguh memalukan dan gadis itu pergi dengan   belinan air mata.
Sebuah kartu identitas milik gadis itu tertinggal tepat di bawah ban mobilku. ‘’Ningsih prihatin  usia 22 tahun,’’ ucapku lirih membaca KTP itu.
***
Sebulan berlalu  sejak peristiwa itu . Aku hanya membolak balik KTP milik gadis itu. Namun belum menemukan alamat gadis itu . Matahari sudah  terbenam langit sangat gelap tanpa bintang yang bertaburan. Ku rem mobil saat lampu merah menyala . Seketika ku lihat gadis yang dahulu pingsan di depan mobilku, ia menuntun seorang nenek menyeberang jalan  sambil menggendong seekor kucing . Ingin aku mengejarnya , mengembalikan KTP  dan mengucapkan kata maaf. Aku sudah keterlaluan menilainya  tetapi sayang sekali lampu hijau sudah menyala.
***
Pagi yang cerah secerah hatiku. Kulihat Koran dan sekotak susu kedelai di atas meja kerjaku. Selama ini aku hanya berlangganan Koran bukan susu tetapi entah mengapa sebulan terakhir aku mendapat susu kedelai kotak gratis dan setiap pagi mendapat sebuah catatan bijak yang ditempel di kotak susu. Siapa sebenarnya pengirim susu kedelai itu??
***
Sulit untuk kosentrasi pada pekerjaan. Wajah gadis itu selalu terbayang , saat aku menendang tubuhnya yang pingsan , saat aku melemparkan dengan uang  dan ucapannya masih terngiang di telingaku.
Masi terlalu pagi , hari ini aku berangkat  lebih awal . Bosan di ruang kerja , aku bergegas ke luar kantor . ‘’Pagi pak  ! , ‘’ sapa gadis pengantar koran di depan pintu masuk . Mataku terbelalak  melihat gadis itu sekarang  berdiri di hadapanku . Ternyata selama ini ia yang mengantar Koran dan susu kedelai gratis yang ditempel catatan kata-kata bijak. Mulutku terbuka dan ingin mengucapkan  kata maaf . Tapi gadis itu lebih dulu pingsan  sebelum aku mengucapkan maaf. Tubuhku gemetar, keringat dingin bingung harus bagaimana. Akhirnya aku gendong Ningsih dan berlari secepat mungkin membawanya ke rumah sakit terdekat.
“Dokter bagaimana keadaan Ningsih?,” tanyaku cemas saat ia keluar dari ruang rawat Ningsih. Dokter Priyo hanya menggelengkan kepala. Aku langsung berlari menuju kamar rawat Ningsih. Wajahnya terlihat pucat. Dibalik topi yang ia pakai rambut hitamnya banyak yang rontok . Aku menggenggam erat jemari Ningsih. “Ningsih di mana orang tuamu?,” tanyaku. Ningsih menggelengkan kepalanya. Aku tidak menyangka ia adalah gadis yang luar biasa hidup sebatangkara tapi tetap semangat menjalani kehidupan.
“Ningsih saya minta maaf atas sikap saya selama ini terhadapmu.”
“Saya tidak pernah marah sama bapak.”
“Ningsih ……….!” Panggilku lirih sambil menitikkan air mata.
Saat itu pula Ningsih menghembuskan nafas terakhirnya karena penyakit yang dideritanya yaitu kanker darah. Belum selesai mengucapkan kalimat AKU PADAMU ia sudah pergi jauh sekali. Belum sempat aq belajar pengalaman hidup darinya, belum sempat aku membahagiakannya. Tapi aku percaya ia sudah bahagia ditempatnya yang baru di surga .Pesannya yang paling kuingat dalam catatan di susu kedelai kotak yang diberikannya setiap pagi yaitu tidak seberapa penting kita hidup lama atau sebentar tetapi yang lebih penting adalah apa yang kita lakukan adalah kebaikan dalam setiap hidup kita.
Ningsih cinta pertamaku yang membuat aku berubah menjadi seseorang yang berarti untuk sesama. Ku usap batu nisan itu dengan lembut. “Aku Pram dengan ini menyatakan AKU PADAMU Ningsih.”


SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar